Komentar Terbaru

    Nasabah Laporkan BPR Universal ke OJK

    PONTIANAK- Direktur PT Jiwa Properti Indah, Jumansah melaporkan BPR Universal ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kalimantan Barat, kemarin (19/05/2025). Pasalnya, Jumansah merasa dirugikan dalam kerja sama pinjaman modal dengan bank tersebut yang dinilai tidak transparan.


    Ia kemudian menjelaskan kronologi permasalahan. Pada tahun 2022, tepatnya 12 Januari 2022, dirinya menyerahkan 12 sertifikat tanah (SHM) ke BPR Universal untuk jaminan pinjaman modal senilai Rp350 juta dengan angsuran Rp11.083.000 per bulan selama lima tahun.
    “Pada saat itu terjadi akad kredit dengan Notaris dan BPR Universal. Biayanya Rp25 juta dan dua kali angsuran mengendap sehingga kami menerima dana hanya Rp300 juta,” katanya. Semua berkas dan prosedur pun sudah lengkap dan ditandatangani.
    “Ketika saya pulang, saya diinformasikan pihak BPR bahwa berkas kontrak yang lengkap tanda tangannya akan menyusul dikirimkan. Namun, hingga saat ini berkas kontrak tersebut tak kunjung dikirim,” ujarnya.
    Berdasarkan kesepakatan awal dengan marketing, lanjut Jumansah, dana penebusan setiap SHM ditetapkan Rp30 juta. Namun, saat dirinya mengajukan penebusan satu SHM pada tanggal 8 Agustus 2024, dana penebusannya Rp34.650.000 sehingga terjadi kelebihan Rp4,65 juta dari kesepakatan awal.
    “Saat mau menebus sertifikat, terdapat biaya tambahan dan kontrak ulang atau adendum. Pihak legal berkata adendum cukup dilakukan sekali. Nah, karena kepentingan bisnis, ketika itu saya tidak mempermasalahkan apa-apa yang diminta pihak bank. Namun, adendum kontrak yang katanya akan dikirimkan menyusul, sampai sekarang pun tak kunjung dikirim,” papar juju panggilan akrabnya.
    Kemudian, pada 2 Mei 2025, juju kembali ingin menebus 2 SHM. Ternyata, ia merasa dipersulit dan kembali harus menandatangani adendum kontrak. Nah, karena merasa gerah dengan perlakuan pihak bank, Juju yang dikenal juga sebagai sekretaris DPD Apersi Kalbar ini memutuskan untuk menebus saja semua SHM yang dijaminkan.


    “Saya lalu menanyakan kepada marketing, berapa sisa uang yang harus dilunasi. Tanggal 5 Mei, saya diinformasikan bahwa jumlah yang harus dilunasi sebesar Rp195.357.401. Nilai tersebut membuat saya syok karena selama 2022, saya sudah menyetorkan angsuran beberapa kali,” ujarnya.
    Merasa tidak puas, Juju lalu meminta cetakan rekening koran. Ternyata ada uang mengendap Rp45 juta sehingga akhirnya untuk pelunasan ia cukup membayar Rp151.400.000. Pelunasan pun dilakukan pada 7 Mei 2025. Namun, hingga saat ini (19/5), SHM belum diserahkan oleh pihak bank kepadanya. Geram dengan perlakuan BPR tersebut, dia mendatangi kantor BPR Universal. Bahkan melaporkan kasus yang dialaminya itu ke pihak Otoritas Jasa Keuangan.
    “Setelah saya tanya, barulah disuruh ambil. Namun, anehnya saya malah disuruh bawa bukti tanda terima penyerahan SHM. Sementara, perjanjian/kontrak kerja sama saja saya tidak dikasih. Saya lalu disuruh ke kantor polisi untuk buat surat kehilangan. Saya di sini merasa dirugikan, dipersulit, hingga usaha saya tertunda,” katanya. Dia juga merasa aneh saat pengambilan sertifikat pihak bank ada menyuruh dia menandatangi sebuah kesepakatan bahwa pihak bebas dari tuntutan hukum. Tapi ditolak oleh Juju ditandatanganinya. Manager bank universal juga enggan memberi klarifikasi dan menemuinya saat didatangi kekantornya.
    Oleh karena itu, ia berharap OJK dapat mengambil tindakan. Pihak bank juga diharapkan lebih transparan dalam pembiayaan dan memberikan kejelasan kepada nasabah tentang kontrak. Hal ini dilakukan jangan sampai apa yang dialaminya terjadi lagi dengan yang lain. (krl)